Claire de Beaumont

 


Lyon, Perancis 1827.

Musim gugur telah tiba di Lyon dengan cara yang hanya dikenal oleh kota itu sendiri — lembut, melankolis, dan penuh aroma kastanye panggang. Jalan-jalan berbatu di sekitar distrik Fourvière mulai basah oleh embun malam, dan dedaunan dari pohon-pohon platan jatuh satu per satu seperti serpihan emas yang lelah menahan waktu.

Di antara semua rumah besar di distrik itu, tak ada yang lebih ramai malam itu selain kediaman keluarga Beaumont, bangsawan tua yang hidup dari kemegahan masa lalu. Dinding marmer dan pilar klasiknya diterangi ratusan lilin kristal. Malam itu mereka mengadakan salon musique et peinture — sebuah perayaan seni, sekaligus cara Madame de Beaumont mempertahankan reputasi keluarganya di tengah zaman yang mulai berubah.

Kuda-kuda berhenti satu per satu di depan gerbang, dan para tamu turun dengan gaun sutra serta mantel panjang. Para pria mencium tangan wanita, membungkuk dengan sopan, sementara pelayan berlarian membawa nampan perak berisi anggur Bordeaux.

Di ruangan besar yang menghadap taman belakang, deretan lukisan baru dipajang di dinding. Sebagian adalah karya para pelukis muda yang baru pulang dari Paris — mereka berharap akan diperhatikan oleh patron kaya atau setidaknya oleh seorang kolektor yang berselera. Salah satu dari mereka adalah Adrien Marchand.

Adrien berdiri agak di pinggir ruangan, tubuhnya tegak tapi canggung, mengenakan jas hitam sederhana yang sedikit usang di bagian kerah. Ia bukan bangsawan, bukan pula pelukis terkenal; hanya asisten dari seorang maestro bernama Jules Moreau yang malam itu tidak hadir karena sakit. Adrien ditugaskan membawa dua lukisan gurunya, namun atas izin sang maestro, ia juga membawa satu karyanya sendiri — “Femme au Pont,” lukisan seorang perempuan muda berdiri di sisi sungai dengan latar jembatan sambil memandangi sungai yang berkilau dalam cahaya senja.

Lukisan itu tak sebesar karya para seniman lain, tapi entah mengapa memancarkan kehangatan yang berbeda — ada sesuatu yang lembut, hampir seperti doa yang tak diucapkan.

Adrien tidak banyak bicara malam itu; ia lebih banyak mengamati. Ia melihat dunia yang bukan miliknya: wanita-wanita dengan kalung mutiara, tawa ringan yang menyembunyikan kehampaan, dan percakapan-percakapan yang berputar di sekitar nama-nama besar Paris. Ia merasa seperti penonton di tepi panggung kehidupan yang tak pernah mengundangnya naik.

Namun di antara gemuruh musik waltz dan aroma parfum bunga mawar, pandangannya tertumbuk pada satu sosok — Claire de Beaumont, putri tuan rumah.

Claire mengenakan gaun berwarna biru pucat yang memantulkan cahaya lilin seperti cahaya bulan di air. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi pita putih kecil. Ia berdiri di antara para tamu, menahan senyum sopan yang telah ia pelajari sejak kecil, namun matanya... matanya tampak mencari sesuatu yang lain, sesuatu di luar pesta dan keanggunan.

Dan pada momen yang tak terduga, tatapan mereka bertemu.

Adrien menunduk cepat-cepat, merasa tak pantas menatap terlalu lama. Tapi Claire telah memperhatikannya. Ada sesuatu dalam cara pria itu memandang dunia — bukan tatapan seorang pengagum, melainkan seorang pengamat yang diam-diam memahami segalanya. Ia merasa seperti sedang diperhatikan bukan karena keindahan gaunnya, tapi karena dirinya sendiri.

Beberapa saat kemudian, Claire beralasan kepada ibunya untuk “melihat karya seni lebih dekat,” dan berjalan perlahan ke arah dinding tempat lukisan Adrien tergantung. Ia berhenti di depan “Femme au Pont.”

Lukisan itu tampak sederhana, tapi setiap sapuan kuasnya mengandung keheningan yang mendalam. Seakan sang pelukis tahu bagaimana mengubah cahaya sore menjadi emosi manusia. Claire tak bisa menjelaskan perasaan itu — semacam keharuan halus, seperti ketika seseorang mendengar melodi yang seolah pernah didengar di kehidupan lain.

“Lukisan itu bukan karya Monsieur Moreau,” katanya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

Adrien, yang berdiri tak jauh di belakang, menjawab dengan gugup, “Tidak, Nona. Itu karya saya sendiri.”

Claire berbalik. Untuk pertama kalinya, mereka saling menatap dari jarak yang begitu dekat.

“C’est magnifique…” bisiknya. “Wanita itu — siapa dia?”

Adrien menelan ludah sebelum menjawab, “Seseorang yang tidak pernah benar-benar ada. Tapi saya melukisnya karena saya merasa... pernah menunggu seseorang di sana.”

Claire menunduk, tersenyum samar. “Mungkin setiap perempuan pernah menunggu di dekat jembatan seperti itu, entah siapa yang akan datang.” Lalu menatap dalam Adrien “Lalu siapa namamu?”

“Adrien... Marchand.” jawab Adrien dengan gugup.

Mereka berbicara hanya sebentar, tapi kata-kata mereka terasa seperti percakapan yang sudah lama tertunda. Tak ada godaan murahan atau basa-basi pesta; hanya dua jiwa yang kebetulan saling mengenali dalam keheningan yang ramai.

Adrien tidak tahu harus berkata apa. Ia ingin bertanya siapa gadis ini, tapi suara musik waltz yang kembali bergema membuatnya kehilangan nyali. Claire hendak kembali ke kelompok tamunya, tapi sebelum pergi ia menatap lukisan itu sekali lagi, seolah menyimpannya dalam hati.

“Teruslah melukis,” katanya. “Dunia terlalu sering lupa pada keindahan yang tenang.”

Adrien hanya sempat membungkuk, dan Claire pun berlalu.

Namun sesuatu telah berubah di dalam dirinya — seolah ruangan itu kini terasa lebih terang, lebih hidup, lebih manusiawi. Adrien kemudian mengetahui siapa gadis yang sempat berbicara dengannya. Ketika ia melihat sebuah lukisan yang begitu mirip dengan wajah Claire — lembut, terang, dan anggun — ia pun bertanya pada seorang pelayan. Dengan nada penuh hormat, pelayan itu menjawab bahwa perempuan dalam lukisan tersebut tak lain adalah Mademoiselle Claire de Beaumont, putri Monsieur Étienne de Beaumont.

Malam makin larut. Para tamu berdansa, anggur mengalir, tawa bergema. Tapi Adrien tak mampu menyingkirkan wajah Claire dari pikirannya. Ia membereskan beberapa bingkai kosong di ruang belakang, namun matanya terus melirik ke arah pintu, berharap gadis itu muncul lagi.

Ketika pesta mulai usai, Adrien membantu pelayan menurunkan beberapa lukisan. Ia berjalan ke ruang galeri untuk mengambil kanvasnya — dan di situlah ia menemukannya.

Di antara kain penutup dan pigura, tergeletak sapu tangan sutra putih yang terlipat rapi. Di sudutnya terjahit huruf kecil dengan benang biru: C. de B.

Ia menatapnya lama. Aroma halus parfum mawar tercium dari kain itu, lembut tapi nyata. Adrien memegangnya seolah memegang sesuatu yang lebih rapuh dari kaca — tanda kecil, tapi cukup untuk membuat malam itu abadi dalam ingatannya.

Ia menatap lukisannya sekali lagi. Perempuan di pinggir jembatan itu kini tampak berbeda — seolah bayangan Claire telah masuk ke dalam setiap garis dan warna.

Ketika Adrien keluar dari rumah keluarga Beaumont, langit Lyon telah memucat oleh embun dini hari. Cahaya lilin dari jendela terakhir yang masih menyala memantulkan sinar di trotoar basah. Ia berjalan perlahan menyusuri jalan berbatu, menggenggam sapu tangan itu di sakunya.

Ia tidak tahu apa yang akan terjadi esok, atau apakah ia akan melihat gadis itu lagi. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bahwa dunia — betapapun keras dan tidak adil — masih menyisakan ruang kecil untuk keajaiban.

Dan di balik jendela kamar atas rumah itu, Claire berdiri di dekat tirai, menatap ke luar. Ia melihat sosok lelaki berpakaian gelap berjalan menjauh, membawa sesuatu dari malam itu yang tak akan pernah bisa ia ambil kembali.

Ia memegang dadanya pelan, menyadari getaran lembut yang belum pernah ia rasakan. Entah mengapa, lukisan itu, percakapan singkat itu, dan pandangan mata yang tak disengaja telah mengguncang sesuatu dalam dirinya — sesuatu yang selama ini dikurung oleh aturan, silsilah, dan nama keluarga.

“Adrien,” ia mengucap nama itu perlahan — tanpa menyadari betapa nama itu akan menjadi takdirnya.

Musim gugur di Lyon terus bergulir. Daun-daun jatuh di halaman rumah Beaumont seperti surat-surat cinta yang tak pernah terkirim. Tapi di dalam hati dua orang itu, telah tumbuh benih kecil yang tak dapat dipadamkan oleh jarak, waktu, ataupun status sosial.

Sebuah cinta yang lahir dari kebetulan, tapi ditakdirkan menjadi bencana yang indah.

 

Hari-hari setelah pesta itu berjalan lambat, seolah musim gugur menahan napas. Di bengkel kecilnya di distrik Croix-Rousse, Adrien Marchand kembali melukis, namun setiap goresan kuasnya terasa seperti menulis surat kepada seseorang yang tak bisa ia jumpai. Dinding bata bengkel itu dingin dan lembap, tapi di dalam kepalanya masih berputar bayangan gaun biru muda dan aroma mawar dari malam di rumah Beaumont.

Ia tak berani berharap banyak. Claire de Beaumont berasal dari dunia lain — dunia di mana nama keluarga lebih berat dari perasaan, dan cinta tak pernah punya hak bicara. Tapi keheningan itu justru membakar hatinya lebih dalam.

Suatu sore, Adrien menulis sebuah surat.

Tanpa sapaan resmi, tanpa nama. Hanya kalimat pertama yang bergetar di kertas lusuh:

“Kepada perempuan yang berdiri di pinggir jembatan hatiku,

bila cahaya sore menyentuh air,

aku berpikir tentang pandangan matamu di antara lilin-lilin yang padam.”

Ia menulis bukan seperti pria yang berharap jawaban, melainkan seperti penyair yang berdoa. Surat itu dilipat dengan hati-hati dan diselipkannya dalam amplop cokelat kecil. Tapi bagaimana mengirimnya?

Di kafe kecil dekat bengkel, Adrien memiliki seorang sahabat bernama Henri Duval — seorang pemuda ceria yang bekerja sebagai kurir barang dan kadang suka menulis sajak sendiri meski tak pernah dibaca siapa pun. Ketika Adrien menceritakan malam di salon dan memperlihatkan sapu tangan dengan huruf C. de B., Henri menatapnya dengan campuran takjub dan prihatin.

“Adrien, kau jatuh cinta pada bintang yang tak bisa kau sentuh,” katanya, menyalakan rokok tipis.

“Tapi bukankah cahaya bintang tetap bisa menghangatkan hati kita meski jauh?” jawab Adrien pelan.

Henri tertawa lirih. “Baiklah, filsuf miskin. Aku tahu satu pelayan yang bekerja di rumah Beaumont. Mungkin—hanya mungkin—ia bisa menjadi jembatan antara langit dan tanah.”

Dan begitulah cara surat pertama itu sampai ke tangan Claire.

Di rumah besar keluarga Beaumont, hari-hari Claire terasa seperti tarian tanpa musik. Ayahnya, Monsieur Étienne de Beaumont, sibuk membicarakan politik dan keuangan, sementara ibunya mengatur daftar undangan untuk pesta berikutnya. Claire lebih banyak menghabiskan waktu di taman, membaca atau menulis di bangku marmer dekat kolam kecil yang dingin.

Ketika pelayan kepercayaannya, Jeanne, menyelipkan amplop tanpa nama di antara buku-buku puisinya, Claire sempat tertegun. Ia membuka perlahan, dan aroma tinta yang lembap menyergapnya seperti angin dari dunia lain.

Surat itu ringkas tapi indah. Setiap kata terasa seperti lukisan yang hidup — lembut, tapi penuh kerinduan yang berani. Ia membaca berulang kali, lalu menyimpannya di antara halaman Les Méditations Poétiques karya Lamartine.

Malamnya, Claire menulis balasan. Ia tak berani menyebut nama, hanya menulis puisi:

“Jika hatimu adalah sungai,

biarkan aku menjadi daun yang hanyut di atasnya.

Bila dunia melarangku menyeberang,

biarlah air membawaku padamu diam-diam.”

Ia menutup surat itu dengan bunga kering — mawar kecil dari taman belakang, simbol rahasia antara dua dunia. Jeanne, pelayan setia itu, menjadi kurir cinta pertama mereka, tanpa sepatah pun pertanyaan. Tapi di matanya mulai tumbuh kekhawatiran, sebab ia tahu rumah besar itu menyimpan mata dan telinga yang tak bisa diam.

Beberapa minggu berlalu. Surat-surat pun bersilang antara Croix-Rousse dan distrik Fourvière, melewati tangan Henri dan Jeanne, seperti doa yang menembus tembok status sosial. Adrien menulis tentang langit, tentang debu bengkel yang terasa indah bila membayangkan wajah Claire. Claire menulis tentang kesepian di antara pesta, tentang gaun-gaun indah yang tak bisa menghangatkan hati.

Mereka berdua hidup dalam dunia yang sama sekali berbeda, namun huruf-huruf kecil itu membuat jarak seolah hilang.

Suatu hari, dalam surat keempatnya, Adrien menulis:

“Bila lukisan bisa menghapus batas, aku akan melukis jembatan yang menghubungkan dua dunia kita — dan kita berdiri di tengahnya, menolak semua nama dan uang.”

Balasan Claire datang tiga hari kemudian:

“Aku tak tahu bagaimana dunia memandangmu, Adrien. Tapi bagiku, setiap sapuan kuasmu adalah doa yang lebih jujur dari seribu doa yang kulafalkan di kapel rumah kami.”

Akhirnya, pada suatu sore mendung, mereka berani mengambil langkah yang lebih gila daripada menulis surat: bertemu diam-diam.

Jeanne mengatur pertemuan itu di taman kecil di dekat Gereja Saint-Jean, di kaki bukit Fourvière. Tempat itu tenang, hanya terdengar lonceng gereja dan suara burung merpati. Adrien datang lebih dulu, membawa buku sketsa dan pensil arang.

Claire tiba dengan kerudung panjang dan mantel sederhana agar tak dikenali. Saat langkah kakinya terdengar di antara batu-batu basah, Adrien menatapnya — dan untuk sesaat, waktu berhenti.

Tak ada kata pertama, hanya senyum yang menghapus segala ketakutan.

Mereka duduk di bangku taman yang sepi. Adrien mulai menggambar garis wajahnya perlahan, dengan tangan gemetar tapi mata penuh cahaya. Claire menatap dengan rasa takjub; belum pernah ia merasa dilihat dengan cara seperti itu — seolah seluruh jiwanya ditransfer ke kertas lewat sebatang arang.

“Bagaimana kau bisa menggambar dengan begitu lembut?” tanya Claire.

“Karena aku takut membuat garis yang menyakitimu,” jawab Adrien.

Claire tertawa pelan, lalu membuka buku puisinya. Ia membacakan bait Ronsard dengan suara lembut, nyaris seperti nyanyian:

“Quand vous serez bien vieille, au soir, à la chandelle,

assise auprès du feu, dévidant et filant,

direz, chantant mes vers, en vous émerveillant :

Ronsard me célébrait du temps que j'étais belle…”

Adrien terdiam. “Kau membaca seolah waktu berhenti,” katanya.

“Karena aku ingin berhenti di sini,” bisik Claire. “Hanya di sini.”

Mereka berbicara lama: tentang lukisan, tentang puisi, tentang dunia yang tak pernah mau mendengar suara hati mereka. Kadang mereka hanya diam, mendengarkan lonceng gereja berdentang seperti penanda waktu yang sia-sia.

Sebelum berpisah, Claire mengambil tangan Adrien. “Janji padaku,” katanya lirih. “Bahwa cinta kita akan melampaui nama dan uang. Bahwa bahkan jika dunia menolak kita, kita tetap akan menjadi diri kita sendiri.”

Adrien menggenggam tangannya erat. “Aku berjanji. Sampai nafas terakhir.”

Hari-hari berikutnya, Lyon terasa lebih indah daripada sebelumnya. Adrien melukis lebih giat, seolah setiap kanvas adalah surat untuk Claire. Di bengkelnya yang sederhana, kini selalu ada bunga kering di atas meja — pemberian terakhir dari pertemuan mereka.

Namun, cinta yang tumbuh di bawah bayangan selalu menarik perhatian. Jeanne mulai resah; ia tahu betapa tajamnya lidah para pelayan lain, dan betapa cepatnya gosip bisa sampai ke telinga Madame de Beaumont.

Suatu sore, ketika Claire sedang menulis surat di kamarnya, ibunya masuk tanpa mengetuk. Ia menatap selembar kertas dengan tulisan puitis yang belum sempat disembunyikan.

“Dari siapa surat itu, Claire?” tanyanya dengan nada datar tapi dingin.

Claire terdiam. Tangan kecilnya gemetar, namun ia mencoba tersenyum. “Puisi… hanya puisi yang aku tulis.”

Madame de Beaumont mengamati sejenak, lalu menunduk mengambil amplop kosong di meja. Tidak ada nama, tapi aroma tinta yang asing membuatnya curiga. Ia tak berkata apa-apa, hanya berbalik dengan wajah kaku.

Setelah pintu tertutup, Claire jatuh terduduk. Ia tahu, masa tenang mereka mungkin segera berakhir.

Malam itu, di Croix-Rousse, Adrien menunggu surat yang tak kunjung datang. Henri datang membawa kabar samar — Jeanne tampak ketakutan, dan rumah Beaumont mulai diawasi oleh kepala pelayan. Adrien hanya duduk di dekat jendela bengkel, menatap langit Lyon yang mulai berawan.

Ia teringat janjinya di taman Saint-Jean.

“Cinta kita akan melampaui nama dan uang.”

Tapi apakah cinta juga bisa melampaui ketakutan?

Ia menulis satu surat terakhir malam itu — surat yang tak akan segera dikirim:

“Claire,

jika dunia menutup pintu untuk kita, maka biarlah kita membuat jendela di langit. Bila aku tak bisa datang padamu sebagai pelukis, aku akan datang sebagai bayangan dalam lukisanmu.”

Ia menyegel surat itu, mencium sapu tangan sutra yang dulu ditinggalkan Claire di pesta keluarganya, dan menatap api lilin sampai padam.

Di sisi lain kota, Claire berdiri di balkon kamarnya, menatap ke arah Croix-Rousse yang hanya tampak sebagai kilatan lampu jauh. Ia memeluk buku puisinya erat, seolah di sanalah Adrien bersembunyi.

Di bawah langit Lyon yang muram, dua hati yang tak seharusnya bersatu terus berdenyut dalam diam — saling mencari lewat huruf, lewat bayangan, lewat janji yang mulai terasa mustahil.

Dan di antara surat-surat itu, dunia yang memisahkan mereka mulai mendekat dengan perlahan… seperti badai yang tak bisa dihindari.

 

Malam di Lyon menggantungkan dirinya seperti lonceng yang belum sempat berbunyi. Di rumah keluarga Beaumont, udara dipenuhi aroma lavender dan damar dari perapian yang menyala lembut di ruang utama. Namun di balik keharuman itu, tersembunyi ketegangan halus—sebuah bisikan gelap yang mengintai dari balik tirai sutra dan langkah-langkah yang ditahan di koridor panjang.

Élise Lambert, pendamping pribadi Claire sejak masa gadis kecil, mulai memperhatikan sesuatu yang tidak biasa. Ia mengenal setiap denyut kebiasaan nona muda itu—jam minumnya, cara ia menulis di ruang baca, bahkan nada kecil yang sering ia siulkan saat menyulam. Tetapi sejak pesta di musim gugur itu, Élise memperhatikan perubahan halus: Claire sering keluar malam dengan alasan “ingin merasakan udara dingin”, atau berlama-lama menulis sesuatu di atas meja tulisnya, lalu buru-buru menyembunyikannya di lipatan kitab Mazmur milik ibunya.

Awalnya Élise ragu. Namun, pada suatu malam, ketika bulan menggantung redup, ia melihat bayangan Claire dari celah jendela ruang tulis—menangis sambil mencium selembar kertas.

Lalu, suara lembut tapi putus asa terdengar:

“Adrien… mengapa dunia ini begitu sempit bagi kita?”

Nama itu membuat Élise tercekat. Adrien—nama yang dulu sempat ia dengar dibisikkan para pelayan setelah pesta besar keluarga Beaumont. Seorang pelukis muda yang katanya miskin tapi tampan, dengan mata kelabu dan tangan berlumur warna. Élise tahu, di dunia mereka, cinta seperti itu bukan sekadar tabu; ia adalah bencana.

Beberapa hari kemudian, Élise mendekati Étienne Beaumont dengan tatapan berat. Ia tidak menyukai pengkhianatan, namun rasa tanggung jawabnya pada keluarga mengalahkan simpati kecil yang tersisa untuk Claire.

“Monsieur,” katanya dengan suara bergetar lembut, “ada hal yang perlu Anda ketahui tentang putri Anda…”

Étienne menatapnya, dahi berkerut. “Apa maksudmu, Élise?”

“Surat-surat, Tuan… surat dari seorang pemuda bernama Adrien. Ia pelukis, bukan dari kalangan kita.”

Kata “pelukis” diucapkan Élise seperti noda di atas linen putih. Étienne membisu beberapa saat. Ia lalu berjalan ke arah jendela besar yang menghadap kebun, di mana bunga mawar Claire yang sedang mekar tampak bergetar oleh angin. “Adrien siapa?” tanyanya perlahan.

“Saya tidak tahu nama lengkapnya, Tuan. Tapi ia sering terlihat di daerah Croix-Rousse.”

Étienne menggenggam tongkat kayunya lebih erat. “Kau sudah melakukan dengan benar, Élise. Aku akan menyelesaikannya malam ini.”

Adrien sedang menatap lukisan di bengkelnya saat dua orang pelayan dari keluarga Beaumont datang. Lukisan itu adalah potret samar Claire di taman Saint-Jean—dengan cahaya pagi menembus rambutnya seperti emas lembut. Adrien baru saja menyelesaikan bayangan di sudut kanvas saat suara keras mengetuk pintu.

“Tuan Adrien Marchand?”

Adrien menoleh, sedikit gugup. “Ya. Ada apa?”

Namun sebelum sempat mendapat jawaban, dua pelayan itu menyeretnya keluar. Salah satu meninju perutnya, membuat tubuhnya terbungkuk.

“Itu untuk Nona Claire,” desis mereka. “Kau mempermalukan keluarga Beaumont!”

Adrien mencoba melawan, tapi sia-sia. Mereka menyeretnya ke gerbang rumah besar di Rue Saint-Just. Di sana, Étienne Beaumont sudah menunggu dengan wajah seperti patung marmer, dingin dan tak bernyawa.

“Jadi ini kau, pemuda miskin yang berani menulis surat pada putriku?”

Adrien terengah, menatap Étienne tanpa rasa takut. “Saya tidak bermaksud mempermalukan siapa pun, Tuan. Saya hanya mencintainya.”

Étienne tersenyum getir, lalu menamparnya dengan punggung tangan. “Cinta? Cinta tak memberi makan orang miskin. Kau hanyalah noda di kehidupan putriku!”

Adrien terdiam, darah menetes dari bibirnya. Tapi dalam tatapan matanya, ada sesuatu yang membuat Étienne gusar—bukan kemarahan, melainkan keyakinan yang tidak bisa dihapus dengan kekuasaan.

“Cinta kami bukan tentang nama atau uang,” jawab Adrien lirih. “Ia tumbuh karena keindahan yang sama yang Anda sendiri ajarkan dalam seni, Tuan.”

Étienne menarik napas panjang, menahan amarah. “Keluarlah dari Lyon. Jika kau masih berani menulis padanya, aku akan pastikan tak ada galeri di kota ini yang akan menampung karyamu lagi.”

Adrien menunduk, lalu melangkah pergi. Hujan mulai turun—rintik kecil seperti air mata yang tak diundang.

Sementara itu, Claire dikurung di kamarnya di lantai dua. Jendela besar yang biasanya menjadi tempat ia menatap taman kini tertutup rapat oleh tirai tebal.

Ibunya, Madame Beaumont, mencoba menenangkannya. “Claire, kau masih muda. Semua ini hanya kekeliruan hati.”

Namun Claire menjawab lirih, “Jika cinta adalah kekeliruan, maka biarlah aku salah seumur hidup.”

Madame Beaumont menunduk, tak sanggup menatap mata anaknya. Ia tahu dunia tidak seindah sajak Ronsard yang sering dibacakan Claire. Di balik setiap pesta dansa dan parfum mawar, ada rantai panjang yang mengikat mereka pada kehormatan keluarga.

Beberapa jam kemudian, Étienne masuk membawa setumpuk surat dan kertas.

“Ini, semua surat dari pemuda itu.”

Ia menatap Claire dengan tatapan dingin, lalu melempar surat-surat itu ke dalam perapian. Api menyala, melahap tinta dan kertas yang sebelumnya menjadi jembatan dua hati muda.

“Lihat baik-baik, Claire. Itulah yang terjadi jika kau menodai nama Beaumont.”

Claire berlari hendak mengambilnya, tapi ibunya menahan. Air matanya menetes deras saat aroma kertas terbakar memenuhi kamar. Di matanya, ia melihat bukan api—melainkan kenangan: tangan Adrien yang lembut, suara lirihnya di taman, dan puisi yang pernah ia bisikkan:

“Cintaku padamu seperti sungai Saône—tak bisa dikurung tembok mana pun.”

Sejak malam itu, Claire tidak lagi menulis surat terbuka. Ia menyembunyikan perasaannya di balik kitab Mazmur, menulis di sela-sela ayat suci:

“Tuhan, jika cinta ini dosa, biarlah aku menanggungnya seperti salib yang indah.”

Setiap malam, ia menulis satu baris kecil—seolah berdoa, namun sesungguhnya memanggil nama Adrien di antara bayang api lilin.

Sementara itu, di Croix-Rousse, Adrien mencoba bertahan dengan semangat yang terkoyak. Henri Duval, sahabatnya, menatapnya dengan prihatin.

“Kau tahu, Adrien, para bangsawan itu takkan pernah mengizinkanmu.”

Adrien menatap kanvas kosong di depannya. “Tapi bagaimana mungkin aku melukis matahari jika aku harus berpura-pura tidak melihat cahayanya?”

Henri menghela napas panjang. “Kau terlalu puitis untuk dunia yang keras ini.”

Adrien hanya tersenyum pahit. “Mungkin. Tapi cinta, Henri, adalah satu-satunya hal yang membuat dunia ini layak dilihat.”

Ia lalu mengambil kuasnya dan mulai melukis—tidak lagi wajah Claire, tapi bayangannya di jendela, samar dan rapuh, seolah terbuat dari cahaya yang terperangkap di kaca.

Di bawah lukisan itu ia menulis satu kalimat:

“Bayangmu adalah cahaya terakhir yang kutemukan di dunia yang memadamkan namamu.”

Di rumah Beaumont, waktu terus berjalan lambat. Étienne mulai membicarakan rencana pertunangan Claire dengan seorang bangsawan muda dari Avignon, putra sahabat lamanya yang baru diangkat menjadi anggota parlemen.

Madame Beaumont hanya mengangguk lesu. Ia tahu Claire tidak akan bahagia, tapi dalam dunia mereka, kebahagiaan bukan tujuan—melainkan kemewahan yang hanya boleh dirasakan sesekali, diam-diam.

Sementara Claire duduk di tepi jendela, menatap langit sore yang membara di atas atap-atap Lyon. Di bawah sana, mungkin Adrien sedang menatap langit yang sama, menunggu jawaban yang takkan datang.

Tapi cinta mereka belum mati—ia hanya berpindah bentuk. Dari surat menjadi doa, dari pertemuan menjadi kenangan, dan dari kata menjadi lukisan yang tak bisa dibakar.

Dan di suatu tempat, di balik riuh Croix-Rousse yang penuh suara pekerja tenun dan palu besi, Adrien bersumpah dalam hati:

“Jika dunia melarangku mencintainya, maka aku akan membuat dunia ini mengingatnya.”

Ia menatap ke arah bukit Fourvière yang jauh di sana, di mana rumah keluarga Beaumont berdiri angkuh di bawah cahaya senja. Dalam diam, dua hati masih saling mencari, meski dunia mencoba memisahkan mereka.

 

Pagi di Lyon turun perlahan dan suara lonceng Gereja Saint-Jean menggema lembut, melingkari kota tua yang masih basah oleh embun musim dingin. Di depan altar batu yang dingin, Adrien berlutut. Jemarinya yang biasa menggenggam kuas kini saling merapat, bergetar di atas lutut yang bersentuhan dengan marmer dingin. Ia tidak datang sebagai pelukis hari itu, melainkan sebagai manusia yang kehilangan arah antara cinta dan iman.

Père Augustin—pastor paruh baya dengan wajah teduh dan jubah hitam lusuh—menatap pemuda itu dari ruang pengakuan dosa. Suaranya berat dan perlahan, seperti air sungai yang mengalir di bawah es.

“Anakku,” katanya dari balik kisi-kisi kayu, “apa yang membuatmu datang kepada Tuhan pagi ini?”

Adrien menarik napas panjang. “Aku datang karena aku mencintai seseorang yang dilarang kucintai, Père.”

“Larangan manusia, atau larangan Tuhan?”

Adrien terdiam sejenak. “Keduanya, mungkin. Ia berasal dari dunia yang bukan milikku. Tapi… jika cinta datang dari cahaya yang sama, mengapa harus disebut dosa?”

Père Augustin memejamkan mata sejenak. “Cinta, anakku, bisa menjadi berkat atau racun. Yang satu membawa kita pada Tuhan, yang lain menjauhkan kita darinya. Kau harus tahu perbedaannya.”

“Tapi aku tidak tahu, Père,” jawab Adrien, lirih. “Sebab saat aku mencintainya, aku justru merasa paling dekat dengan Tuhan. Setiap kali aku menatap matanya, aku seperti melihat lukisan ciptaan-Nya yang paling sempurna.”

Père Augustin menunduk dalam. Kata-kata itu seperti kilatan yang mengingatkannya pada masa mudanya sendiri, saat iman dan hasrat bertarung dalam satu tubuh manusia yang fana. “Dan perempuan itu?” tanyanya pelan.

“Ia dikurung, Père. Tapi aku masih menulis, meski hanya untuk mengingat bagaimana rasanya menjadi hidup.”

Di luar gereja, cahaya pagi masuk menembus kaca patri berwarna biru dan merah, membentuk corak samar di wajah Adrien—seolah surga sendiri ragu apakah hendak memberkatinya atau mengutuknya.

Père Augustin akhirnya berkata dengan nada lembut namun tegas:

“Lepaskan dia, Adrien. Cinta yang melawan dunia tak akan membawa damai. Kau akan hancur, dan mungkin juga dia. Terkadang, Tuhan meminta kita menyerah pada hal yang paling kita cintai agar kita bisa menyelamatkan jiwa kita sendiri.”

Adrien menatap lantai marmer di hadapannya, di mana bayangan salib jatuh tepat di dadanya.

“Tapi bagaimana jika jiwa itu tak ingin diselamatkan tanpa dirinya?”

Père Augustin tidak menjawab. Hanya suara napas berat yang terdengar di balik kisi kayu itu.

Akhirnya, dengan nada nyaris seperti doa, Adrien berkata,

“Aku tidak tahu apakah aku masih percaya pada surga yang menolak cinta seindah ini.”

Lalu ia berdiri, memberi hormat singkat, dan melangkah keluar.

Di sisi lain kota, di rumah besar keluarga Beaumont, Claire duduk sendirian di kamarnya. Tirai tebal yang dulu menutup jendela kini sedikit terbuka, membiarkan cahaya siang yang redup masuk ke dalam ruangan. Di meja kecil di hadapannya tergeletak kitab Mazmur—buku yang menjadi saksi dari setiap air mata dan kalimat tersembunyi yang ia tulis di antara ayat-ayat kudus.

Hari itu, ia tidak menulis apa pun. Tangannya gemetar, pikirannya kosong. Hanya doa yang datang, lemah dan tersendat:

“Tuhan… aku tidak tahu harus mencintai siapa terlebih dulu—Engkau atau dia.”

Ia menatap salib kecil di dinding kamarnya, salib yang dulu diberkati pada hari pernikahan orang tuanya. “Apakah aku berdosa karena mencintai orang miskin, Tuhan? Atau karena aku menolak kebahagiaan yang mereka pilihkan untukku?”

Di luar kamar, Madame Beaumont berbicara dengan seorang pelayan tentang rencana kunjungan keluarga Dubois—keluarga bangsawan Avignon yang akan datang minggu depan untuk membicarakan pertunangan. Claire mendengar nama itu berulang kali, seperti belenggu yang diulang agar lebih dalam menancap di hatinya.

Ia ingin menolak, berteriak, melarikan diri. Tapi di dunia Claire Beaumont, seorang perempuan tidak melarikan diri; ia hanya tunduk dengan elegan. Maka satu-satunya tempat yang tersisa baginya untuk melawan adalah doa.

Malam itu, ia berjalan diam-diam menuju Gereja Saint-Jean—gereja yang sama tempat Adrien mengaku dosa pagi tadi.

Gereja tampak sepi. Lilin-lilin di altar tinggal beberapa batang, menyala goyah diterpa angin dari pintu yang sedikit terbuka. Suara langkah sepatu Claire bergema di lantai marmer. Ia berlutut di depan altar yang sama, di tempat Adrien berdoa.

“Jika ia datang ke sini hari ini, Tuhan,” bisiknya, “maka biarlah doa kami bertemu di udara, meski kami tak bisa bertemu di dunia.”

Ia menundukkan kepala, lalu menangis—bukan tangis lemah seorang wanita yang menyerah, melainkan tangis seorang jiwa yang menolak dilupakan.

Père Augustin, yang kebetulan masih berada di ruang sakristi, melihat sosok itu dari kejauhan. Ia mengenali wajahnya—putri dari keluarga Beaumont, gadis yang disebut Adrien pagi tadi. Seketika, batinnya berguncang. Dua manusia muda ini datang ke tempat yang sama, memohon hal yang sama pada Tuhan yang sama, tapi dari dua arah yang berlawanan: satu memohon kekuatan untuk melepaskan, satu memohon mukjizat agar tak dipisahkan.

Ia tidak menghampiri Claire. Ia hanya berdiri di kejauhan, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. Dalam hati, ia berdoa agar Tuhan berbelas kasih pada cinta yang terlalu murni untuk dibiarkan hidup di dunia yang penuh aturan.

Hari-hari berikutnya berjalan seperti langit tanpa matahari. Adrien tidak lagi ke bengkel lukisannya. Ia lebih sering berjalan menyusuri tepi Sungai Saône, membawa buku sketsa dan secarik kertas kosong. Dalam dirinya, ada pergulatan yang terus berdenyut: antara iman yang diajarkan Père Augustin dan cinta yang hidup dalam darahnya.

Di setiap orang yang ia lihat—sepasang kekasih, seorang ibu, seorang pengemis—ia mencoba mencari jawaban: apakah cinta hanyalah bentuk lain dari kesombongan manusia, ataukah satu-satunya jalan untuk memahami kasih Tuhan?

Suatu sore, ia kembali ke Gereja Saint-Jean. Ia berdiri di bawah lengkung batu besar yang berlumut, menatap langit-langit tinggi yang tampak seperti memenjarakan cahaya.

Ia berbisik lirih,

“Père Augustin salah. Cinta ini tidak melawan Tuhan; justru karena cinta inilah aku mulai mengerti siapa Dia.”

Kemudian ia duduk di bangku belakang gereja, menulis surat terakhirnya kepada Claire. Tidak panjang, tidak puitis seperti biasanya. Hanya satu kalimat:

“Mari kita bertemu di tempat yang tak bisa memisahkan kita lagi.”

Ia melipat surat itu dengan hati-hati, menyerahkannya pada Henri untuk dikirim lewat pelayan yang masih berani mengambil risiko itu.

Di rumah Beaumont, Claire menerima surat itu malam berikutnya. Ia membukanya dengan tangan gemetar. Satu kalimat saja—tidak ada tanda tangan, tidak ada tanggal. Tapi ia tahu, ia tak butuh lebih dari itu.

Ia memejamkan mata, mencium kertas itu, dan untuk pertama kalinya sejak dikurung, ia tersenyum.

Namun di balik senyum itu, air mata jatuh pelan ke pipinya. Ia tahu kalimat itu bukan janji untuk bertemu di taman atau di kota lain. Itu adalah panggilan yang lebih sunyi, lebih dalam. Adrien tidak mengajak lari—ia mengajak berpisah dari dunia yang menolak mereka.

Malam itu, Claire kembali berdoa di depan salib kamarnya.

“Tuhan, jika cinta ini salah, maka biarlah Engkau sendiri yang memisahkan kami. Tapi jika Engkau menciptakan cinta untuk menunjukkan bagaimana manusia harus mengasihi, maka tolong biarkan kami bertemu sekali lagi—meski bukan di dunia ini.”

Dan ketika lilin terakhir padam, Lyon tampak seperti kota yang menahan napas. Di kejauhan, lonceng Saint-Jean berdentang sekali—dalam, berat, seperti doa yang tak kunjung dikabulkan.

 

Lyon terlelap dalam senyap yang tidak suci. Di atas langit kelam, bulan menggantung sendirian seperti lilin di ruang pemakaman yang luas. Sungai Saône berkilau pucat, memantulkan bayangan jembatan-jembatan batu yang seolah menahan napas. Angin membawa aroma lembap dari tepi air, bercampur dengan suara ranting yang bergesekan, menyerupai bisikan doa yang terlupakan.

Di sisi lain kota, di halaman belakang rumah keluarga Beaumont, tiga bayangan bergerak cepat di antara pagar dan taman. Henri Duval, dengan langkah mantap namun wajah tegang, memimpin dua sosok yang menunduk di belakangnya.

Adrien memegang tangan Claire erat-erat di bawah jubah hitam panjang yang menutupi tubuhnya. Wajahnya disembunyikan oleh tudung kain tipis. Degup jantung mereka berdua berpacu dengan waktu dan rasa takut. Setiap langkah terasa seperti mencuri sesuatu yang bukan milik mereka — malam itu, mereka mencuri kebebasan.

“Cepat,” bisik Henri, sambil menoleh. “Gerbang belakang tak dikunci, tapi penjaga sering lewat tiap seperempat jam. Setelah itu, aku tak bisa lagi menolong kalian.”

Adrien menatap sahabatnya. “Henri, aku tidak tahu bagaimana membalas semua ini.”

“Jangan bicara tentang balasan,” jawab Henri pelan, namun matanya berkaca. “Aku hanya ingin kau menepati kata-katamu: kalau dunia menolak cinta kalian, maka buatlah dunia baru — meski hanya sebentar.”

Claire menatap Henri. “Terima kasih,” katanya lirih. “Kalau aku dilahirkan kembali, aku ingin kita bertiga bertemu tanpa nama, tanpa gelar, tanpa ketakutan.”

Henri mengangguk cepat, menunduk, lalu mundur perlahan ke balik bayangan pohon. Adrien menggenggam tangan Claire lebih kuat, dan mereka pun menyelinap keluar dari rumah itu — dari dunia yang telah menolak mereka.

Malam itu dingin tapi indah. Di bawah jembatan Saint-Vincent, air Saône mengalir pelan, berkilau di bawah cahaya bulan. Suara gereja Saint-Jean di kejauhan berdentang satu kali, menandakan jam kesepuluh.

Adrien dan Claire berjalan tanpa suara di sepanjang tepi sungai. Langkah mereka meninggalkan jejak di tanah lembap. Claire menengadah, memandangi langit Lyon yang kelabu. “Adrien,” katanya pelan, “aku tidak tahu apakah aku sedang hidup atau sudah mati malam ini.”

“Kita masih hidup,” jawab Adrien, suaranya lembut. “Justru ini pertama kalinya kita benar-benar hidup, Claire.”

Ia berhenti di tepi sungai, membuka tas kulit kecil yang ia bawa. Di dalamnya, terbungkus rapi dalam kain beludru, ada dua gelas kecil dan botol berleher sempit berisi cairan berwarna tembaga gelap.

“Larutan opium dan belladonna,” katanya, hampir seperti seorang seniman yang memperkenalkan karyanya. “Père Augustin bilang cinta bisa menjadi racun, tapi aku kira racun ini justru akan mengembalikan cinta kita kepada asalnya — pada yang abadi.”

Claire menatap cairan itu lama. Ia tidak ketakutan. Ada ketenangan di matanya, seperti seseorang yang sudah lama berdamai dengan takdir.

“Adrien,” bisiknya, “apakah kita akan diampuni?”

“Jika cinta ini dosa,” jawabnya, “maka biarlah Tuhan yang menjawab di sisi lain sungai.”

Mereka duduk di rerumputan basah, berhadap-hadapan. Di antara mereka, dua gelas kecil kini penuh hingga setengah. Adrien menatap wajah Claire lama-lama — rambutnya yang keemasan memantulkan cahaya bulan, kulitnya yang pucat seperti marmer muda di kapel, dan matanya yang penuh keyakinan, seperti sedang menatap akhir yang suci.

“Maukah kau menggambar aku untuk terakhir kali?” tanya Claire tiba-tiba.

Adrien tertegun. “Sekarang?”

“Ya. Aku ingin kau mengingatku bukan sebagai gadis dari rumah Beaumont, tapi sebagai perempuan yang pernah kau cintai di tepi Saône.”

Adrien tersenyum kecil. Ia mengeluarkan buku sketsanya, yang telah lusuh dan basah di pinggir. Dengan tangan gemetar tapi lembut, ia mulai menggambar wajah Claire dalam cahaya bulan. Setiap goresan terasa seperti perpisahan yang lembut: garis rambutnya, lekuk bibirnya, bayangan lembut di lehernya.

Claire memandangi Adrien dengan mata yang berkilat basah.

“Kau tahu,” katanya perlahan, “ibuku selalu bilang cinta itu seperti musik. Indah hanya jika dimainkan di waktu yang tepat. Tapi kita... mungkin kita memilih lagu yang salah, ya?”

Adrien berhenti menggambar dan tersenyum getir. “Tidak, Claire. Kita hanya memainkan lagu yang terlalu indah untuk dunia ini.”

Ia menutup buku sketsa, menaruhnya di samping. Kemudian ia mengambil salah satu gelas kecil, menyerahkannya kepada Claire.

“Untuk kebebasan,” katanya.

Claire menerima gelas itu. “Untuk cinta,” jawabnya.

Mereka saling menatap. Waktu berhenti. Angin di tepi Saône seolah menahan hembusannya, dan air sungai menjadi cermin yang memantulkan wajah dua manusia yang berani menentang dunia.

Mereka mengangkat gelas mereka, menyentuhkan bibir pada tepi kaca. Cairan itu pahit, berbau bunga dan kematian. Claire meneguknya perlahan, seperti mencicipi air kehidupan yang dijanjikan. Adrien meneguk setelahnya, tak ada keraguan.

Setelah itu, mereka saling berpelukan.

Adrien menarik tubuh Claire ke dadanya. “Aku ingin kau ingat satu hal,” bisiknya di telinganya.

“Tidak ada dunia tanpa engkau di dalamnya.”

Claire menatap matanya — dan di sana, ia melihat bukan kematian, tapi cahaya yang menenangkan, seperti matahari pagi di atas lembah.

“Kalau begitu,” katanya lirih, “biarlah dunia berhenti malam ini.”

Waktu berjalan pelan setelah itu. Efek racun datang dengan lembut seperti kantuk. Claire bersandar di bahu Adrien, sementara bintang-bintang di langit tampak bergetar.

“Mungkin nanti kita akan terlahir kembali di tempat yang tak mengenal nama,” bisik Claire. “Aku ingin jadi awan, dan kau jadi sungai — agar aku bisa terus melihatmu dari langit.”

Adrien tersenyum. “Kalau begitu, aku akan terus mengalir di bawahmu, sampai dunia berhenti berputar.”

Tubuh Claire semakin lemah, napasnya semakin lambat. Adrien mencium keningnya, lalu memejamkan mata. Dalam diam, ia merasakan tubuh mereka menyatu dalam dingin yang tenang, dalam cinta yang tidak membutuhkan restu siapa pun.

Suara lonceng gereja Saint-Jean berdentang dua kali — berat, dalam, seperti nadi terakhir kota yang ikut berduka.

Dan di antara gema lonceng itu, dua sosok di tepi Saône perlahan membeku dalam pelukan mereka.

Menjelang pagi, di tepi Sungai Saône—udara terasa lebih berat, seolah membawa rahasia yang enggan diucapkan. Dari perahu kayunya, seorang nelayan bernama Baptiste melihat sesuatu di antara sisi sungai: dua tubuh, terbaring saling berdekapan. Tangan mereka masih saling menggenggam. Di rambut perempuan itu terselip sehelai bunga kering.

Di samping mereka, sebuah buku sketsa terbuka, di dalamnya gambar seorang perempuan tersenyum lembut, dengan catatan kecil di bawahnya:

“Cinta yang benar tak mati — ia hanya berpindah tempat.”

Ketika kabar menyebar ke kota, Lyon seakan berhenti bernafas. Orang-orang dari Croix-Rousse hingga Bellecour berkumpul di tepian sungai. Seorang ibu berbisik lirih, “Mereka tampak damai, bukan?”—dan air matanya jatuh tanpa tahu untuk siapa. Orang-orang berbicara dengan nada campur antara terkejut dan simpati, sementara Gereja Saint-Jean menyalakan lilin untuk dua jiwa muda yang “tersesat dalam kasih.”

Polisi kota menutupi tubuh mereka dengan kain.

 

Claire Beaumont dan Adrien Marchand. Dua nama yang, bagi sebagian orang, hanya berarti gadis bangsawan dan pelukis miskin. Tapi pagi itu, di bawah cahaya redup Fourvière, keduanya menjadi lambang yang lebih besar dari diri mereka sendiri.

Ketika tubuh mereka diangkat, Étienne Beaumont berdiri kaku di pinggir dermaga. Wajahnya pucat, seperti batu nisan yang tak pernah mengenal penyesalan. Élise Lambert berlutut di belakangnya, menggenggam rosario sambil memalingkan wajah—tak sanggup memandang anak majikannya yang kini tampak seperti patung marmer di altar.

Henri Duval berdiri di tepi Saône, menatap tempat di mana sahabat dan kekasih sahabatnya berakhir. Angin menggoyangkan air perlahan, seolah menyembunyikan rahasia mereka. Di tanah, ia menemukan sapu tangan putih dengan inisial C. de B, masih harum lavender. Ia mengambilnya, menggenggam kuat-kuat, lalu berbisik ke langit:

“Kalian memang menolak tunduk. Tapi kalian telah menang. Dunia ini terlalu sempit untuk cinta seagung itu.”

Ia meletakkan sapu tangan itu di atas air, membiarkannya terbawa arus. Dalam diam, Lyon kembali berdenyut seperti biasa, tapi di tepi Saône, cinta dua manusia masih bergetar lembut — abadi dalam kesunyian malam yang menolak melupakannya.

Para biarawan dari Gereja Saint-Jean datang. Namun Père Augustin hanya berdiri, menatap keduanya mayat itu lama sekali. Di dalam dirinya, ia tahu: mungkin Tuhan sendiri menangis malam itu, karena melihat dua manusia yang mencintai-Nya dengan cara yang tak dimengerti dunia.

Ils sont partis sans sacrement,” katanya lirih.

Tapi di matanya yang basah, ada sesuatu yang menyerupai pengampunan.

Pemakaman mereka diadakan di pemakaman kecil di kaki bukit Fourvière. Gereja menolak upacara penuh, sebab bunuh diri dianggap dosa. Tapi penduduk datang dalam diam—para pelukis miskin, pelayan-pelayan rumah tangga, hingga anak-anak yang pernah melihat Claire memberi sedekah di pasar. Mereka menaburkan bunga di atas tanah yang masih basah.

Henri berdiri di tepi kubur, membaca sepenggal kalimat dari surat terakhir Adrien yang sempat ia temukan:

“Cinta yang sejati tidak berakhir di dunia, ia hanya berpindah tempat di mana waktu tak lagi menua.”

Kata-kata itu bergema di antara gumam doa dan tangis tertahan. Bahkan beberapa biarawan muda yang dilarang hadir tetap datang, berdiri jauh di belakang, memegangi salib kecil di dada.

Di rumah besar keluarga Beaumont, tirai-tirai diturunkan selama berminggu-minggu. Étienne memerintahkan agar nama Adrien tak lagi disebut di rumah itu. Namun setiap malam, suara denting piano dari kamar Claire masih terdengar samar—entah gema kenangan, entah halusinasi. Kadang Élise Lambert, pelayan yang dulu melapor pada sang ayah, berdiri di depan pintu kamar itu dengan wajah menyesal. Ia bersumpah mendengar seseorang berbisik dari dalam: “Je suis là, Adrien…”

Musim berganti. Lyon kembali hidup. Pasar Croix-Rousse ramai lagi, pameran seni digelar di balai kota, dan orang-orang mulai lupa tragedi itu—atau setidaknya berpura-pura lupa. Namun di tepian Saône, setiap malam Jumat pertama musim gugur, selalu ada sepasang bunga anyelir putih mengapung di permukaan air. Tak ada yang tahu siapa yang meletakkannya.

Père Augustin menuliskan catatan di buku paroki Saint-Jean:

“Claire Beaumont dan Adrien Marchand, wafat pada fajar keempat Oktober, tahun 1827. Mereka mati tanpa sakramen, tapi barangkali lebih dekat pada surga daripada kita yang hidup.”

Kalimat itu kelak dibaca oleh murid-murid seminari muda yang menangis diam-diam. Dalam hati mereka, lahirlah simpati baru terhadap cinta—cinta yang mungkin berdosa di mata hukum, tapi suci di mata hati.

Henri Duval membuka galeri kecil di Rue Mercière beberapa tahun kemudian. Di dinding utamanya, tergantung lukisan terakhir Adrien: “Femme au Pont.” Lukisan itu kini dikelilingi oleh bingkai dedaunan emas, dengan keterangan kecil di bawahnya:

“Didedikasikan untuk C. de B., yang menatap dunia dengan cahaya yang tak pernah padam.”

Setiap kali pameran dibuka, para pengunjung berdiri lama di depan lukisan itu. Beberapa wanita muda mengusap air mata mereka. Beberapa pria menyebutnya romantisme berlebihan. Tapi Henri tahu, setiap orang yang berhenti di sana merasakan hal yang sama: kehangatan yang menusuk seperti rindu yang tak selesai.

Di luar galeri, para penyair Lyon mulai menulis tentang mereka.

Les Amants de la Saône,” begitu sebutan yang melekat sejak itu—Para Kekasih dari Saône.

Lagu-lagu rakyat muncul di kedai anggur: tentang gadis bangsawan yang turun dari menara untuk mengejar pelukis miskin, tentang dua jiwa yang menolak tunduk pada dunia. Anak-anak di Fourvière bahkan bermain di tepi sungai sambil bernyanyi pelan:

“Mereka meninggal di tepi sungai, tapi hati mereka jadi bintang.”

Dan setiap kali matahari tenggelam di Lyon, kilau di permukaan Saône seperti dua cahaya kecil yang berkejaran—satu emas, satu putih. Orang-orang bilang, itu roh mereka, masih berjalan beriringan.

Dua puluh tahun berlalu.

Étienne Beaumont meninggal dalam kesunyian. Di ruang kerjanya ditemukan surat yang tak pernah dikirim, tertulis dengan tinta memudar:

“Aku tidak pernah tahu cinta bisa seindah sekaligus sekejam itu. Jika aku punya kesempatan kedua, mungkin aku akan memeluk mereka, bukan memisahkan.”

Surat itu dimakamkan bersama dirinya, atas permintaan terakhir sang imam.

Di bukit Fourvière, dekat basilika yang belum rampung dibangun, ada batu kecil tanpa nama. Di atasnya, setiap musim gugur, seseorang selalu menaruh dua bunga anyelir putih dan selembar kanvas kecil bergambar jembatan.

Orang-orang Lyon memanggil tempat itu Le Jardin des Silences—Taman Keheningan.

Mereka datang bukan untuk berdoa, tapi untuk mengingat.

Dan di antara segala yang hilang dari abad ke-18 itu—revolusi, perang, kebangkrutan bangsawan, dan pudar aristokrasi—kisah mereka tetap hidup seperti nyala lilin di jendela yang tak pernah padam.

Para seniman muda menyebut nama mereka ketika bicara tentang cinta yang menolak tunduk.

Para biarawati kadang menyebutnya dalam doa, dengan nada yang tak lagi mengutuk, melainkan iba.

Dan di hati para warga Lyon, les amants de la Saône menjadi legenda yang tak lekang oleh waktu: kisah dua jiwa yang gagal hidup bersama di dunia yang kejam, tapi berhasil menyatu di tempat di mana tak ada nama, tak ada kasta, dan tak ada larangan.

“Mereka gagal hidup bersama di dunia yang kejam, tapi di keheningan Saône, nama mereka menjadi satu.”

Apakah sungai mengingat mereka?

Mungkin tidak. Tapi setiap kali fajar datang di Fourvière, kabut di atas air tampak berputar lembut, seperti dua siluet yang menari. Dan bagi mereka yang peka pada keheningan, di sana terdengar bisikan yang tak bisa ditulis oleh siapa pun "Je t'aime, pour toujours."

Share:

Bayangan Aya

 


Tokyo 2003

Hujan turun seperti serpihan kaca.

Dari balik kaca depan mobil, aku hanya melihat garis-garis putih yang terurai menjadi dunia lain—seakan semua yang kami lewati hanyalah sisa kenangan yang menolak padam. Aya duduk di sebelahku, memutar radio pelan, lagu lama dari era 80-an yang tak kukenal. Tangannya yang kurus mengetuk-ngetuk setir mengikuti irama, dan sesekali ia menoleh padaku sambil tersenyum kecil, senyum yang seolah tahu sesuatu yang aku tidak.

“Jalan malam seperti ini selalu membuatku tenang,” katanya.

Aku mengangguk, meski sebenarnya tidak. Hujan membuatku gelisah. Lampu-lampu mobil dari arah berlawanan memantul di kaca dan membentuk garis merah panjang, seperti urat darah yang ditarik paksa. Aya masih tersenyum, tapi matanya tampak jauh, menatap keluar jendela, ke arah bayangan gedung-gedung gelap di kejauhan. Tokyo dari pinggiran selalu tampak lebih sunyi, seperti kota yang berusaha mengingat dirinya sendiri.

Aku ingin mengatakan sesuatu padanya—tentang betapa aku khawatir, betapa aku takut ia terlalu sering menyetir malam-malam seperti ini, tapi kata-kata itu membeku di ujung lidah. Aya dan aku, meski kembar identik, tidak pernah benar-benar tahu bagaimana harus bicara satu sama lain tanpa menyentuh luka lama.

Mungkin karena terlalu mirip, kami saling memantul sampai tak tahu siapa bayangan siapa.

“Jangan diam saja,” katanya lagi. “Kau terlihat seperti sedang memikirkan hal aneh.”

Aku tertawa kecil. “Aku cuma lelah.”

“Lelah jadi Miyu?” ia menatapku sekilas, lalu tersenyum lagi. “Atau lelah jadi aku?”

Mobil sedikit oleng.

Suara air menghantam aspal makin keras, dan wiper bergerak terburu-buru, tak sempat membersihkan kaca yang terus diselimuti kabut.

Lalu, semuanya terjadi begitu cepat.

Sinar putih.

Benturan logam.

Jerit ban.

Dan tubuhku melayang.

Seketika, semua suara lenyap.

Aku hanya mendengar napasku sendiri, lalu tidak lagi.

Gelap menelan segalanya.

Ketika aku membuka mata, dunia terasa dingin dan berat. Langit-langit putih di atas kepalaku bergoyang pelan, lampu neon berpendar samar. Aku mendengar suara mesin—beep pelan yang teratur, seperti detak jantung buatan. Aku ingin menggerakkan tangan, tapi tidak bisa. Rasanya seperti tubuhku tertahan di antara dua lapisan udara.

Seorang pria berseragam putih mendekat, wajahnya kabur karena silau cahaya di belakangnya.
“Kau sudah sadar,” katanya.

Suaranya datar, terlalu tenang untuk keadaan seperti ini.

Aku ingin bertanya di mana aku, tapi suaraku keluar serak dan patah.

“…Aya…”
Itu satu-satunya kata yang bisa keluar.

Dokter menatapku, seolah sedang menimbang sesuatu.

“Beristirahatlah dulu, Nona Kawashima,” katanya akhirnya. “Kau beruntung selamat.”

Aku menelan ludah, tenggorokanku kering seperti debu.

“Siapa di antara kami yang selamat?” tanyaku pelan.

Ia tak menjawab.

Hanya diam beberapa detik yang terasa seperti tahun, lalu mencatat sesuatu di clipboard-nya dan pergi begitu saja.

Aku menatap ke jendela di sisi tempat tidur—dan di sanalah aku melihatnya.

Bayangan dua wajah.

Satu wajahku sendiri, pucat dan kusut. Dan satu lagi… tersenyum samar dari sisi yang lebih gelap kaca, seolah berdiri di luar ruangan. Aku berkedip, dan hanya ada pantulan lampu kamar.
Tapi udara mendadak lebih dingin, dan aku tahu sesuatu yang tak bisa dijelaskan sudah menempel di dalam ruang ini.

Hari-hari setelah itu berjalan seperti mimpi buruk yang terlalu lembut untuk ditolak.
Setiap pagi, suster datang mengganti perban di tanganku, menanyakan kabar, mengucapkan ohayou gozaimasu dengan suara yang berusaha ceria tapi matanya menunduk. Aku tak tahu berapa lama aku telah di sini; jam di dinding seolah selalu menunjukkan waktu yang sama: 07.42.

Kadang aku mendengar langkah kaki lain di koridor, berhenti tepat di depan pintu kamarku. Tapi tak pernah ada yang masuk. Kadang aku melihat bayangan dua orang di refleksi kaca jendela setiap sore, saat matahari jatuh di balik gedung tua di depan klinik.

Malam hari, aku bermimpi tentang suara air—suara hujan, suara wiper, suara tubuh melayang.
Dalam mimpi itu, Aya menoleh ke arahku dari kursi pengemudi dan berkata, “Kalau kita mati, kita akan tetap sama, kan?” Aku ingin menjawab tidak, tapi mulutku tak bisa bergerak.
Dan setiap kali aku bangun, aku mendengar gema pertanyaan itu di kepalaku sendiri.

Tetap sama.

Selamanya sama.

Sama.

Dokter yang merawatku—Dr. Harada—akhirnya datang menjenguk dua hari kemudian. Ia pria berumur lima puluhan, wajahnya tirus dan suaranya lembut, tapi matanya tampak terlalu jernih untuk dipercaya.

“Bagaimana perasaanmu hari ini?” tanyanya sambil membuka catatan.

Aku menatap jari-jariku. “Masih terasa aneh.”

“Bagian mana yang aneh?”

“Tubuhku. Aku merasa… terlalu ringan di sisi kanan.”

Ia menulis sesuatu tanpa menatapku. “Trauma bisa menimbulkan persepsi yang menipu. Kadang tubuhmu belum menerima kenyataan yang sebenarnya.”

Aku terdiam.

Kenyataan yang sebenarnya?

“Aku masih melihatnya,” kataku. “Aya.”

Baru kali ini matanya berhenti menulis dan menatapku.

“Saudara kembarmu?”

Aku mengangguk.

“Dia di mana?”

Aku menatap jendela, di mana hujan mulai turun lagi sore itu.

“Di sisi lain,” jawabku pelan. “Tapi terkadang dia di sini juga.”

Ia tidak mengatakan apa-apa lagi.

Ia menutup buku catatannya, berdiri, dan sebelum keluar ruangan ia menatapku sekali lagi, seperti hendak memastikan sesuatu.

“Kadang bayangan orang yang kita cintai tetap tinggal, terutama jika ada sesuatu yang belum selesai,” katanya.

Aku tidak tahu apakah ia sedang menghiburku atau memperingatkanku.

Malam itu, listrik sempat mati beberapa detik. Cahaya darurat menyala, ruangan berubah menjadi abu-abu dingin. Aku menatap jendela—dan di sana lagi, dua bayangan. Kali ini bayangan itu jelas: aku dan Aya berdiri berdampingan, tapi hanya satu yang bernafas. Kupandangi lama, sampai mataku perih. Bayangan Aya menoleh padaku, bibirnya bergerak pelan. Aku tak mendengar suara, tapi tahu apa yang ia katakan.

"Kau yakin kau Miyu?"

Aku memejamkan mata, berharap semuanya berhenti. Ketika kubuka lagi, hanya ada satu bayangan. Namun dada kiriku terasa berat—seperti ada seseorang yang menempel dari dalam kulitku sendiri.

Besok paginya, aku meminta cermin. Suster membawakannya dengan enggan, tapi aku bersikeras. Aku ingin melihat wajahku, memastikan bahwa aku masih aku. Tapi saat cermin kecil itu kuangkat, aku tak langsung mengenali diriku sendiri.

Bekas luka di pelipis, garis halus di dagu—itu semua milik Aya, bukan aku. Aku menelusuri wajahku dengan jari, berusaha mencari sesuatu yang membedakan, tapi semakin kutatap, semakin aku tak yakin siapa yang sedang menatap balik.

Aku ingin berteriak, tapi suaraku tak keluar. Di cermin, bibirku bergerak sedikit lebih cepat dari yang seharusnya—seolah ada seseorang yang sudah lebih dulu mencoba mengucapkan kata yang sama.

Dan untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu, aku merasa bukan aku yang hidup.

“Kau beruntung selamat, Nona Kawashima.”

Tapi mungkin ia tak pernah tahu siapa yang sebenarnya dimaksud.

 

Hari itu matahari sore menyelinap masuk melalui kisi jendela klinik, membentuk garis-garis cahaya di lantai ubin yang retak. Warna oranye yang biasanya hangat terasa dingin di dinding pucat itu, seperti cahaya yang lupa cara menghibur manusia. Sudah hampir seminggu aku di sini, tapi waktu di tempat ini tak pernah bergerak seperti seharusnya.

Setiap jam berdetak tanpa tujuan. Setiap langkah terasa mengarah ke tempat yang sama.

Dokter Harada memintaku datang ke ruang terapi pukul tiga, di sayap timur gedung. Tapi papan petunjuk di koridor tampak aneh—huruf-hurufnya pudar, sebagian huruf diganti dengan tulisan tangan suster yang berbeda-beda gaya. Aku mengikuti tanda panah bertuliskan Psychiatric Counseling Wing, tapi lorong yang kutemui berakhir pada pintu kayu tua tanpa pegangan.

Aku berhenti di sana, menatap papan kecil berkarat di samping pintu itu: Hongo Shinryōjo – Sayap Lama Ditutup Permanen, 1981.

Lalu mengapa ada lampu menyala samar di bawah pintu?

Aku menekan daun pintunya perlahan. Berderit. Bau lembap langsung menyergap, seperti kertas tua dan obat yang sudah kedaluwarsa. Cahaya yang kulihat tadi berasal dari jendela tinggi di ujung lorong—cahaya sore yang memantul dari kaca buram, menembus tirai debu.

Langkahku bergema di lantai, suara hak sandal karet seperti gema air di ruang kosong. Di dinding, catnya terkelupas membentuk pola seperti peta yang tak kukenal. Aku menelusuri perlahan, tangan menyentuh dinding dingin, merasa seolah ruangan itu mengenal tekstur kulitku.

Aku tidak tahu mengapa aku terus berjalan. Mungkin aku hanya ingin tahu, atau mungkin bagian dari diriku sudah tahu aku memang harus ke sini.

Di ujung lorong, ada papan besar berbingkai kayu. Foto-foto lama tertempel di sana—hitam-putih, sebagian mulai pudar, beberapa sudah kehilangan wajah karena waktu.

Tulisan di atasnya: “Pasien Rawat Tahun 1972 – Program Rehabilitasi Mental dan Identitas.”

Aku mendekat.

Ada belasan foto, laki-laki dan perempuan, kebanyakan masih muda. Senyum mereka tampak kaku, seperti terpaksa, seperti ada sesuatu di luar bingkai yang menahan mereka agar tidak bergerak terlalu jauh.

Dan di baris paling bawah, di sisi kiri, mataku berhenti.

Dua wajah.

Dua gadis muda berambut panjang, berdiri bersebelahan di kamar pasien, mengenakan gaun putih dengan kerah tinggi.

Di bawahnya tertulis: “Aya & Mayu Kawashima – 21 Tahun.”

Aku menatap tulisan itu lama.

Kawashima. Nama kami.

Aya dan Mayu.

Bukan Miyu, tapi hanya selisih satu huruf.

Semuanya terasa seperti kebetulan yang terlalu presisi. Aku menatap lebih dekat. Cahaya sore dari jendela memantul di permukaan kaca bingkai, menciptakan bayangan samar. Saat aku sedikit bergerak, pantulan itu ikut bergeser—tetapi salah satu wajah di foto tetap menatap lurus padaku, matanya seperti mengikuti gerakanku.

Aku berkedip.

Bayangan di kaca bergetar sedikit, lalu berhenti.

Aku menahan napas. Ruang itu terlalu sunyi.

“Aku pernah ke sini…” Kalimat itu keluar begitu saja, meski aku tahu itu mustahil. Tahun 1972 bahkan belum ada aku.

Tapi semakin kupandangi foto itu, semakin aku merasa mengenal ekspresi di wajah gadis yang tersenyum di sebelah kanan—senyum yang menahan sesuatu di belakangnya. Persis seperti senyum Aya sebelum kecelakaan malam itu.

Dan gadis di sebelahnya… ia menatap dengan tatapan kosong, seperti aku ketika menatap kaca kamar beberapa hari lalu.

Aku menyentuh kaca bingkai itu dengan ujung jari. Dingin. Tapi dari balik dingin itu, aku bisa merasakan sesuatu—sebuah denyut halus, seperti jari lain di sisi seberang kaca sedang menyentuhku balik.

Suara sesuatu jatuh di ujung lorong membuatku tersentak. Ketika aku menoleh, bayangan seseorang tampak bergerak di ujung sana. Tubuh tinggi, langkah lambat, dan suara kain perawat yang bergesekan dengan lantai.

Aku terpaku di tempat.

Seseorang muncul dari balik tikungan—seorang wanita tua dengan seragam perawat berwarna kelabu, topinya sudah usang, dan langkahnya pelan. Ia membawa senter kecil yang redup, wajahnya keriput tapi matanya tajam.

“Lorong ini sudah ditutup,” katanya tanpa menatapku langsung. Suaranya pelan, tapi tidak ramah.
“Maaf,” jawabku terbata. “Saya… mencari ruang terapi. Saya tersesat.”

Ia menatapku sekilas.

“Oh. Kau pasien baru, ya?”

Aku mengangguk.

Ia mendekat, berhenti di depan papan foto itu, lalu berkata dengan nada nyaris seperti bisikan:
“Tempat ini seharusnya sudah kosong.”

Aku tak tahu apakah ia berbicara padaku atau pada foto-foto itu. Matanya tertuju pada wajah kembar dalam foto, dan untuk sepersekian detik, aku melihat sesuatu di matanya—seperti rasa takut yang terlalu lama disembunyikan.

“Siapa mereka?” tanyaku.

Ia diam lama, lalu menjawab lirih, “Mereka… pasien di masa sebelum rumah sakit ini diambil alih. Mereka sering bicara sendiri, saling menyalahkan. Sampai suatu hari… salah satunya ditemukan tidak bernyawa di ruang mandi, dan satu lagi menghilang begitu saja.”

“Yang mati… siapa?” tanyaku lagi, hampir tanpa sadar.

Ia memandangku, lama sekali.

“Aku sudah terlalu tua untuk mengingat dengan benar,” katanya. “Tapi kurasa, mereka hanya berganti tempat.”

Aku menggigil tanpa tahu kenapa.

Perawat itu lalu menepuk bahuku perlahan. “Kau tidak seharusnya di sini, Nona Kawashima. Sayap ini ditutup bukan karena rusak. Ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan diam.”

Aku mencoba tersenyum sopan, tapi suaraku serak saat menjawab, “Saya hanya tersesat.”

“Semua yang datang ke sini bilang begitu,” katanya sebelum berbalik.

Ia berjalan perlahan ke ujung lorong. Setiap langkahnya terdengar bergema panjang, semakin jauh, semakin samar, sampai akhirnya hilang di tikungan.

Aku masih berdiri di depan foto itu. Bayangan sore mulai memudar, kaca tak lagi memantulkan cahaya, tapi wajah dua gadis itu tetap jelas, seperti baru saja difoto kemarin. Entah kenapa aku merasa mereka menatapku, bukan dari masa lalu, tapi dari tempat yang lebih dekat—dari sisi ruang yang tak bisa kucapai.

Aku mengusap permukaan kaca, menghapus debu tipis yang menempel.

Lalu aku berhenti.

Di ujung bawah bingkai, ada bekas tulisan tangan yang pudar, mungkin bekas spidol lama:
“Jangan biarkan mereka saling bertukar.”

Aku mundur satu langkah. Lorong mendadak lebih dingin. Lampu di atas kepalaku berkedip dua kali sebelum padam sebentar, lalu menyala lagi dengan cahaya lebih lemah. Dalam pantulan kaca bingkai, aku melihat bayangan diriku—tapi kali ini tidak sendiri.

Di belakangku, samar, tampak sosok lain berdiri. Wajahnya mirip sekali denganku. Rambutnya sedikit lebih panjang. Matanya merah lembut, seperti mata yang baru saja selesai menangis. Aku berbalik cepat. Lorong kosong. Tak ada siapa pun.

Ketika kutatap lagi pantulan di kaca, sosok itu sudah tak ada, hanya tersisa wajahku sendiri yang tiba-tiba terasa asing.

Aku berjalan mundur pelan, lalu keluar dari sayap itu tanpa menoleh lagi. Begitu menyeberang ke koridor utama, udara kembali hangat, dan suara langkah suster-suster lain terdengar normal.

Tapi di balik dinding itu, aku tahu sesuatu masih menatapku.

Sejak sore itu, setiap kali aku berjalan di depan kaca atau cermin, aku selalu merasa pantulanku tersenyum sedikit lebih dulu.

 

Aku mulai mencatat mimpi-mimpiku setiap pagi, tapi catatan itu selalu berubah ketika aku membacanya ulang. Baris-baris yang kutulis dengan tangan sendiri seakan diganti oleh seseorang yang tahu lebih banyak dariku. Pagi ini, di halaman yang mestinya berisi tanggal dan catatan singkat, hanya ada satu kalimat, huruf-hurufnya tegak dan rapi, bukan gaya tulisanku:

"Jangan biarkan dia menulis lagi."

Aku menatap lama tulisan itu. Hening. Udara di kamar asrama klinik terasa berat, seperti ruangan ini menyimpan napas seseorang yang tak mau pergi. Lampu neon di langit-langit bergetar pelan, menghasilkan dengung halus yang menembus kepala. Aku tak yakin sejak kapan bunyinya ada di sana.

Sejak hari pertama aku masuk program terapi di klinik di pinggiran Tokyo ini, aku diberi kamar 303. Dokternya bilang, “Kamar ini tenang, cocok untuk istirahat panjang.” Tapi aku tak merasa tenang sedikit pun. Ada sesuatu tentang kamar ini yang membuatku ingin menatap ke cermin setiap kali aku merasa sendirian—karena setiap kali kulakukan, aku selalu menemukan sesuatu yang... tidak seharusnya di sana.

Malam itu aku bermimpi lagi.

Aku duduk di meja kayu yang tampak kuno, dengan tinta dan pena di depan. Di jendela, salju turun pelan—aneh, karena seingatku masih bulan Mei. Di hadapanku ada surat setengah jadi.

Aku menulis:

"Aya, aku rindu—"

Tapi sebelum aku sempat menyelesaikannya, tanganku mulai bergerak sendiri, menulis cepat dengan goresan yang bukan milikku:

"Aku bukan yang kau kira. Aku yang tersisa setelah kau hilang."

Aku mencoba berhenti, tapi jari-jariku kaku. Pena itu menari liar, mencoret, melingkar, hingga tinta tumpah. Lalu wajah seseorang muncul di permukaan tinta—bayangan samar dengan rambut panjang menutupi separuh wajahnya. Ia tersenyum, seolah aku baru saja memanggilnya pulang.

Aku terbangun dengan napas tersengal. Keringat dingin membasahi tengkukku. Tapi yang membuatku membeku bukan mimpi itu... melainkan kenyataan: di meja kecil kamar 303, ada selembar kertas. Tulisannya sama persis dengan yang ada di mimpiku.

“Aku yang tersisa setelah kau hilang.”

Aku menatap sekeliling. Jendela tertutup, tirai tak bergoyang. Aku tahu aku sendiri, tapi di cermin kecil di sisi tempat tidur, pantulan tubuhku berdiri sedikit lebih lambat daripada gerakku.
Aku menoleh. Ia masih menatap.

Pagi harinya, aku menemui dokter.

Dr. Harada duduk di kursinya dengan ekspresi yang terlalu tenang. Di belakangnya, dinding klinik dipenuhi catatan pasien dan foto lama yang entah kenapa semua warnanya tampak pudar ke arah merah muda pucat.

“Aku tidak bisa tidur,” kataku. “Dan aku… menemukan tulisan yang bukan dariku.”

Ia mengangkat alis. “Miyu, kau tahu otakmu sedang memulihkan diri. Kadang ia menciptakan sesuatu untuk menutupi kehilangan.”

“Aku paham itu,” ujarku. “Tapi bagaimana jika yang menulis itu bukan aku? Bagaimana kalau yang menulis… dia?”

“Dia siapa?”

Aku diam lama. Nama itu menempel di lidahku tapi sulit keluar.

“Aya.”

Dokter menghela napas.

“Miyu, kau tahu apa itu delusi identitas ganda? Kadang otak menolak kenyataan kematian orang yang sangat dekat, dan mulai meminjam identitas itu untuk bertahan.”

Aku menatap lantai, tapi suaranya terasa jauh.

“Lalu kenapa lubangnya membentuk wajahnya?”

Dr. Harada menatapku lebih lama dari biasanya.

“Karena kau memandang ke dalam lubang yang sama terlalu lama,” katanya pelan.

Siang itu aku kembali ke kamar. Lorong menuju lantai tiga terasa lebih sempit daripada biasanya. Dindingnya lembap, dengan bau karbol yang samar bercampur sesuatu yang manis—seperti bunga yang sudah lama membusuk.

Ketika aku membuka pintu kamar 303, cahaya dari jendela menerobos masuk, membuat ruangan tampak putih berlebihan. Overexposed, kata fotografer. Tapi bukan hanya cahaya—ada kabut halus yang menempel di kaca, seolah jendela itu memisahkan dua cuaca berbeda.

Aku duduk di tepi ranjang. Di cermin, bayanganku tampak sedikit miring, seolah lantainya tak rata. Aku mencoba tersenyum, hanya untuk melihat refleksi itu tersenyum setengah detik lebih lambat.

Aku berbisik, “Aya?”

Refleksi itu tak menjawab. Tapi bahunya bergerak naik, seperti sedang menarik napas. Aku memejamkan mata, berharap ilusi itu hilang.

Ketika kubuka lagi, aku tak lagi berada di kamar. Aku berdiri di ruangan lain—masih 303, tapi lebih tua. Cat dinding mengelupas, tempat tidur logam berkarat, dan di lantai ada noda yang tak pernah benar-benar kering. Dari jendela, terlihat langit abu-abu.

Di meja kecil dekat ranjang, ada foto lama: dua perempuan muda dengan wajah identik. Di bawahnya tertulis Aya & Mayu Kawashima, 1972.

Aku menatapnya lama.

Rasanya aku pernah melihat wajah mereka… di kaca, di mimpi, di pantulan bayangan sendiri.

Seseorang berbisik di telingaku, suara lembut tapi terlalu dekat:

“Itu bukan foto. Itu jendela.”

Aku terhuyung mundur.

Ketika kulihat lagi, bingkai foto itu kosong—kaca bening, tapi di baliknya… aku melihat diriku, tersenyum dari sisi lain.

Aku terbangun di ranjang klinik. Dokter Harada berdiri di sisi, perawat muda menulis sesuatu di clipboard.

“Berapa lama aku tertidur?” tanyaku.

“Dua hari,” jawabnya. “Kami menemukamu pingsan di lantai tiga. Kau harusnya tidak berada di sayap lama itu. Sudah ditutup bertahun-tahun.”

Aku ingin menjelaskan, tapi lidahku kaku. Aku ingin mengatakan tentang kamar 303, tentang surat tinta hitam, tentang wajah di cermin. Tapi ketika kulihat ke dinding—ada plakat kecil bertuliskan Kamar 203.

“Maaf,” kataku pelan, “apa kamar ini bukan 303?”

Dokter menatapku sebentar.

“Tidak ada kamar bernomor 303 di gedung ini, Miyu.”

Malamnya aku sendirian lagi. Lampu redup, suara jam berdetak lambat. Aku menulis di buku catatan, mencoba menahan tangan agar tidak bergetar.

Aku Miyu Kawashima. Aku hidup.

Tapi pena di tanganku tiba-tiba berhenti, lalu bergerak sendiri. Huruf-huruf baru muncul, berlapis di atas tulisanku sendiri:

Tidak. Aku Aya. Kau yang mati di jalan itu.

Kertas itu robek di ujung, tapi tinta masih mengalir, membentuk garis panjang seperti nadi yang pecah.

Aku mendongak ke arah cermin di seberang tempat tidur. Refleksi di sana menatapku—dan kali ini, ia yang memegang pena.

Ia tersenyum. Dan aku tahu, esok pagi, hanya satu dari kami yang akan bangun.

 

Suara lift tua itu bergema lama sebelum pintunya terbuka. Angin dari dalam porosnya dingin dan berdebu, membawa aroma besi karat dan sesuatu yang seperti obat tidur yang sudah basi. Aku menatap angka yang berkilat samar di panel: B2. Ruang arsip klinik, katanya.

Aku tak yakin kenapa datang ke sini malam-malam, hanya membawa senter kecil dan rasa ingin tahu yang menyesakkan dada. Tapi setelah kejadian di kamar itu—atau ruang kosong yang katanya tak pernah ada—aku merasa jawabannya pasti tertinggal di tempat yang lebih tua daripada aku sendiri.

Begitu lift berhenti, lampu di langit-langit menyala redup, berkedip setiap beberapa detik. Lorongnya panjang dan sempit, dindingnya lembap seperti gua. Di ujung lorong, ada pintu logam bertanda Medical Records — Restricted Access.

Aku mendorong perlahan. Engselnya berderit nyaring, menelan dengung listrik dari atas.

Ruang arsip itu seperti perut dunia yang menelan waktu. Rak-rak tinggi berjejer, dipenuhi kotak dan map lusuh berlabel tangan. Beberapa tulisan sudah pudar, sebagian lagi ditulis dengan tinta yang sudah berubah kecokelatan. Setiap langkahku menimbulkan gema aneh—seolah suara langkah lain mengikuti dari jarak satu detik di belakang.

Aku menyalakan senter, sinarnya menelusuri tumpukan dokumen berdebu. Nama-nama pasien melintas: Kobayashi, Tanaka, Fujiwara. Semua terasa asing, sampai satu berkas di bagian bawah rak menarik perhatianku—sampulnya lebih tebal, kertasnya kuning keemasan seperti disimpan lebih lama dari yang lain.

Tulisan di label itu: “Mayu Kawashima, 1972 — Case 303.”

Tanganku membeku.

Kawashima. Nama keluargaku. Tapi Mayu?

Aku mencoba mengingat, tapi tak pernah ada nama itu dalam keluargaku. Hanya aku… dan Aya.

Aku membuka map itu. Kertas pertama adalah catatan medis kuno, ditulis dengan mesin tik, tapi ada tulisan tangan di margin—huruf-huruf miring seperti goresan terburu-buru:

“Pasien mengaku terjebak dalam waktu yang berputar. Mengklaim dirinya hidup di masa depan.”

Aku membaca ulang kalimat itu.

Hidup di masa depan.

Tinta di kertas itu menembus sampai halaman belakang, seolah penulisnya menekan pena terlalu kuat—atau terlalu cemas.

Di bawah catatan utama, ada tambahan lain, tulisan tangan berbeda, lebih kecil, nyaris seperti catatan pribadi:

“Kita hanya berganti peran. Yang terjaga bukan selalu yang hidup.”

Aku menatap kalimat itu lama.

Tulisan itu… aku mengenalnya. Itu tulisan tanganku.

Aku menjatuhkan map itu tanpa sadar. Kertas-kertasnya beterbangan pelan, suara gesekan halus seperti napas seseorang yang berdesir di telingaku. Aku menunduk, berusaha memungutnya satu per satu. Tapi di setiap halaman yang kuambil, kata-kata mulai berubah. Huruf-hurufnya menulis sendiri, seolah tinta mengalir hidup:

“Jangan biarkan aku terhapus, Miyu.”

“Aku masih di sini.”

“Aku masih di dalam dirimu.”

Tanganku bergetar. Aku menatap ke sekeliling. Rak-rak seolah makin tinggi, lorong makin sempit. Udara di ruang arsip menebal dengan debu yang menari di udara. Lampu neon di langit-langit berkedip lebih cepat, lalu berhenti. Hanya senter kecil di tanganku yang masih hidup, sinarnya goyah karena aku tak bisa berhenti gemetar.

Aku mendengar sesuatu di belakang.

Langkah pelan—ritmenya sama persis dengan napasku sendiri.

Aku menahan diri untuk tidak menoleh. Tapi langkah itu berhenti tepat di belakangku, terlalu dekat. Aku bisa merasakan udara dingin menyentuh tengkuk, seperti seseorang menunduk dan berbisik.

“Baca sampai akhir.”

Aku menoleh. Tak ada siapa pun.

Tapi di lantai, di antara tumpukan kertas, ada halaman terakhir dari map itu. Aku mengambilnya dengan tangan gemetar.

Di pojok kanan bawah, ada foto hitam putih: dua perempuan berdiri berdampingan, mengenakan pakaian pasien rumah sakit. Wajah mereka identik. Di belakang mereka, papan nama bertuliskan Klinik Koganei — Tokyo Prefecture, 1972.

Tulisan di bawah foto itu:

“Pasien Mayu (kanan) menunjukkan tanda-tanda disosiasi. Ia memanggil refleksi dirinya ‘Aya’.”

Darah di tubuhku serasa berhenti mengalir.

Foto itu kabur, tapi semakin kutatap, wajah kanan di foto berubah. Rambutnya lebih pendek sedikit. Senyumnya mirip punyaku.

Aku melepaskan foto itu, tapi kertasnya menempel di telapak tanganku, seperti menolak pergi. Saat kuarahkan senter ke bawah, bayangan tanganku di lantai—tidak satu. Dua.

Aku berlari ke arah pintu. Nafasku berat, setiap langkah terasa menembus udara yang kental. Ruangan seolah bergoyang pelan, seperti perut kapal tua. Aku tak tahu mana arah keluar; semua rak terlihat sama.

Lalu di ujung pandangan, aku melihat sesuatu—papan kayu kecil dengan tulisan STAFF ONLY. Aku menubruknya, membuka paksa, dan keluar ke koridor sempit yang menanjak ke atas.

Tangga itu gelap, dindingnya lembap. Suara langkahku bergema aneh, seperti ruang di belakangku masih mengulang bunyi yang sama, terlambat setengah detik. Aku berhenti di tengah tangga, mencoba menenangkan diri.

Hening.
Lalu—klik.
Suara langkah lain, pelan, menapak di lantai bawah.

Aku memejamkan mata. Napasku tersengal. Lampu senter di tangan berkedip-kedip, lalu padam. Dalam kegelapan, aku bisa mendengar langkah itu naik satu tangga… lalu berhenti.

Satu napas lagi.

Langkah lain.

Berhenti lagi.

Dan tiba-tiba aku sadar: langkah-langkah itu berhenti tepat di bawah kakiku, tapi bayangan di lantai tangga—dua.

Yang satu milikku, yang lain berdiri berseberangan arah.

Aku berhasil keluar dari ruang itu, tapi rasanya tidak sama. Cahaya sore di luar jendela terlalu putih, hampir tidak nyata. Ketika aku lewat di depan kaca lorong, pantulan diriku berhenti sedikit lebih lama dari langkahku sendiri, lalu perlahan mengangkat tangan, seolah melambai.

Aku memalingkan wajah, pura-pura tidak melihat.

Tapi di ujung pandangan, di refleksi kaca yang memudar, bibirnya bergerak.

“Kita hanya berganti peran.”

 

Aku tidak tahu kapan mulai menyadari bahwa lorong klinik ini tak lagi sama. Awalnya hanya perasaan samar—lampu di langit-langit tampak bergeser beberapa inci dari tempat seharusnya, jam dinding yang biasanya menggantung di dekat ruang suster kini berpindah ke sisi kanan. Tapi setiap kali aku mencoba mengingat letak sebelumnya, kepalaku berdenyut, seperti otakku menolak menata ulang peta yang berubah-ubah.

Aku mencoba menenangkan diri. Menghitung langkah dari ruang perawatan menuju aula depan. Dua puluh langkah, belok kanan, tujuh langkah lagi. Tapi kali ini, setelah langkah ke-20, bukan belokan yang muncul, melainkan koridor lurus yang berakhir pada dinding putih tanpa pintu.

Aku menatapnya lama.

Dinding itu memantulkan sedikit bayangan—aku sendiri, samar, tapi ada sesuatu yang salah: pantulan itu sedikit miring, seolah berdiri di tanah yang berbeda. Aku melangkah mundur, dan bayangan di sana tidak mundur bersamaku. Ia tetap di tempat, menunduk perlahan, seperti menatap seseorang di luar bingkai pandangan.

Aku berbalik. Tak ada siapa pun.

Dari pengeras suara di langit-langit, suara statis terdengar, diikuti nada dingin seperti dari masa lalu:

“Pasien Kawashima Aya, harap kembali ke kamar 303.”

Aku berhenti.

Suara itu datar, tanpa emosi, tapi setiap kata menusuk dadaku.

Aya.
Aku melihat ke arah speaker, seolah bisa menemukan asalnya, tapi di sepanjang koridor, tidak ada satu pun pengeras suara yang terlihat.

Aku menelan ludah.

Itu bukan nama yang bisa disebut begitu saja.

Aku mulai berjalan cepat, lalu berlari. Tak ada alasan jelas, hanya dorongan seperti naluri purba—seolah suara itu memanggil sesuatu yang lebih tua dari tubuhku sendiri. Tapi semakin aku berlari, koridor semakin panjang. Jendela-jendela di sisi kiri menunjukkan pemandangan yang tak konsisten: kadang senja, kadang gelap malam, kadang hujan, lalu tiba-tiba langit pagi yang terlalu biru.

Aku berhenti sejenak, menempelkan punggung ke dinding. Aku menutup mata, mencoba menarik napas panjang. Tapi udara di sini terasa berbeda—tidak seperti oksigen, lebih mirip sesuatu yang lama tertahan di paru-paru seseorang yang sudah lama tak bernapas.

Saat aku membuka mata, koridor di depanku sudah berubah lagi. Lampu-lampu meredup menjadi cahaya kekuningan, ubin lantai berganti menjadi kayu tua, dan di ujung lorong berdiri sebuah cermin besar.

Aku tidak ingat pernah melihat cermin sebesar itu di klinik ini. Bingkainya dari kayu gelap, berukir motif bunga sakura layu. Cerminnya sendiri sedikit buram, tapi cukup jelas untuk memantulkan sosokku.

Aku mendekat perlahan.

Sinar dari lampu di langit-langit menyorot wajahku di permukaan kaca. Tapi ada sesuatu yang ganjil: refleksi itu tampak lebih tenang, lebih… sadar. Aku mencondongkan kepala ke kanan, dan pantulanku terlambat sepersekian detik.

Aku mengangkat tangan, dan ia menirukan, tapi tidak sejajar. Gerakannya sedikit lebih lambat—lebih lembut, lebih berirama, seolah sengaja menunggu.

Aku menatap matanya, dan saat itu juga aku tahu: yang menatapku dari seberang bukanlah aku.

“Siapa kau?” suaraku keluar nyaris tak terdengar.

Refleksi itu tidak menjawab. Ia hanya tersenyum—senyum kecil, samar, tapi terlalu akrab untuk ditolak.
Kemudian, perlahan, ia membuka mulut. Bibirnya bergerak tanpa suara, tapi aku bisa membaca bentuk katanya dengan jelas.

“Aya.”

Aku mundur satu langkah.

Suaraku tercekat di tenggorokan.

Cermin di depanku bergetar pelan, seperti air yang tersentuh batu kecil.

Refleksi itu menatapku lebih dalam, lalu mengangkat tangannya ke permukaan kaca.
Tanpa berpikir, aku ikut mengangkat tanganku—dan ujung jari kami bertemu, hanya terpisah oleh lapisan dingin itu.

Sensasinya nyata. Terlalu nyata.

Kaca terasa hangat di bawah ujung jariku.

Kemudian aku mendengar suara lain—dari arah lorong, samar, seperti langkah seseorang berjalan cepat.
Aku menoleh.

Tak ada siapa pun.

Tapi saat menatap kembali ke cermin, refleksi itu sudah berubah: matanya kini berwarna merah samar, bibirnya membentuk senyum yang lebih lebar, terlalu lebar untuk wajah manusia.

Lalu retakan kecil muncul di tengah permukaan kaca, memanjang perlahan ke atas.

Retakan itu membelah pantulan kami menjadi dua garis simetris, seperti luka halus di wajah dunia.

Dari balik retakan itu, suara tawa muncul.

Lembut, seperti tawa seseorang yang menertawakan sesuatu yang tidak seharusnya lucu.
Tawa itu bukan dari mulut pantulan, bukan juga dari lorong di belakangku—tapi dari dalam kepalaku sendiri.

Ia mengalir bersama detak jantungku, membesar setiap kali aku mencoba berpikir jernih.

“Kau masih belum mengerti, Miyu.”

“Kita hanya menukar tempat.”

Aku memejamkan mata, menekan telingaku, tapi tawa itu tetap ada, berputar di dalam tengkorak.
Ketika kubuka mata lagi, cermin itu sudah retak sepenuhnya. Retakannya membentuk pola seperti akar pohon—menyebar ke seluruh permukaan hingga wajah di sana terpecah menjadi serpihan-serpihan kecil.

Namun satu hal masih tetap utuh: matanya.

Dua mata di tengah retakan, menatapku lurus, tidak berkedip.

Lalu suara itu datang lagi, kali ini dari pengeras suara di langit-langit:

“Pasien Kawashima Aya, harap kembali ke kamar 303.”

Suara itu diulang.

Sekali lagi.

Dan lagi.

Hingga kata Aya berubah menjadi gema yang berlapis-lapis, seperti puluhan suara yang saling meniru.

Aku berlari, tapi ruang di sekitarku ikut bergerak. Koridor memanjang tanpa ujung, dindingnya melipat ke arah yang tidak logis. Setiap kali aku belok, aku kembali ke tempat yang sama: di depan cermin yang sudah pecah, tapi kini tanpa pantulan sama sekali.

Aku menyentuh permukaannya.

Dingin.
Tapi dari balik retakan-retakan kaca itu, aku bisa merasakan sesuatu bernafas perlahan.

Dan untuk pertama kalinya, aku sadar bahwa mungkin yang ada di sisi lain bukan menunggu…
melainkan mencoba keluar.

Ketika aku menatap lagi ke permukaan yang berantakan itu, bayangan samar muncul dari kedalaman—dua sosok, bukan satu. Yang pertama menatap lurus ke arahku, dengan wajah tegang seperti milikku. Yang kedua, berdiri sedikit di belakang, tersenyum lembut dengan mata yang terlalu merah.

Lalu kaca bergetar pelan, dan suara yang sama berbisik dari semua arah:

“Kini kau yang di seberang.”

Sebelum aku sempat bereaksi, lampu di koridor padam. Dan dalam kegelapan total itu, satu-satunya yang tersisa hanyalah tawa—pelan, teredam, seperti seseorang tertawa di dalam air.

 

Pagi itu datang seperti sesuatu yang tidak seharusnya nyata. Cahaya menembus kaca jendela klinik, jatuh ke lantai putih yang baru dipel, dan memantul di dinding yang bersih dari retakan. Lorong yang dulu berdebu kini terasa seperti garis waktu yang sudah disetrika—rapi, steril, dan tanpa cela.

Dokter itu berjalan perlahan, sepatu karet beradu dengan lantai vinyl, menimbulkan bunyi lembut chik, chik di antara dengung lampu neon. Ia sudah bekerja di klinik itu lebih dari dua puluh tahun. Tapi hari ini, saat melewati lorong menuju kamar pasien, sesuatu terasa berbeda.

Bukan pada ruangnya — melainkan pada udara. Seolah setiap tarikan napas membawa fragmen yang tak ingin ia hirup.

Ia membuka pintu kamar 303.

Hening.

Ruangan itu bersih. Hanya satu ranjang, sprei putih mulus tanpa kerut, seakan tak pernah ditiduri. Di sisi ranjang, ada meja kecil dengan vas berisi bunga lili yang masih segar. Tidak ada foto, tidak ada buku, tidak ada tanda kehidupan selain secarik kertas di bawah kaca meja: Formulir pasien masuk — 2003.

Nama pasien: Kawashima, Aya.

Usia: 21.

Keterangan: trauma pascakecelakaan, kehilangan saudara kembar.

Dokter menatap tulisan tangan itu lama.

Ia tidak tahu kenapa, tapi huruf-huruf itu terasa familiar, seperti pernah ia lihat di arsip yang lama hilang. Huruf K yang miring, tanda titik kecil di atas huruf i yang terlalu tinggi—semuanya terasa akrab.

Ia menoleh ke arah dinding, pada papan nama kecil di depan pintu kamar: 303 — KAWASHIMA, AYA.

Tidak ada nama lain di bawahnya.

Beberapa tahun lalu, katanya, kamar ini digunakan untuk pasien dengan gangguan identitas. Lalu sayap bangunan ditutup karena renovasi. Kini, sayap itu dibuka lagi — dan ruangan itu tampak seperti baru dilahirkan. Namun, di dalam ketenangan itu, ada sesuatu yang aneh. Dokter merasa seolah sedang memasuki mimpi orang lain.

Ia menunduk, memeriksa catatan di clipboard. Tapi di antara halaman-halaman itu, terselip sebuah foto lama — kertasnya sudah menguning, sudutnya terlipat.

Ia menatapnya, perlahan.

Foto hitam putih, tahun 1972.

Dua perempuan muda berdiri di depan bangunan yang sama, mengenakan gaun pasien.

Di bawah foto tertulis:

Pasien terapi: Miyu & Aya Kawashima.

Dokter terdiam.

Matanya menelusuri wajah-wajah itu: dua perempuan identik, tapi salah satunya tampak sedikit lebih pucat, matanya menatap kosong ke arah kamera.

Ia tidak ingat pernah melihat foto ini di arsip mana pun.

Tapi bagaimana foto itu bisa ada di sini, di dalam catatan pasien baru?

Ia meletakkannya di meja.

Lalu menatap cermin di dinding seberang ranjang.

Cahaya pagi menembus ruangan, membuat cermin itu berkilau samar.

Dokter berdiri di sana lama, memperhatikan bayangannya sendiri — wajah lelah dengan rambut yang mulai memutih. Tapi semakin lama ia menatap, semakin ia merasa sesuatu yang lain ikut muncul di balik pantulan itu.

Mula-mula samar: seolah kabut tipis membentuk siluet kedua di belakangnya. Kemudian, lebih jelas. Seorang perempuan, rambut panjang, mengenakan pakaian pasien putih. Wajahnya tak asing. Ia menatap dari dalam cermin, bukan ke arah dokter, melainkan melalui dirinya — seperti sedang mencari sesuatu di sisi lain dunia.

Dokter mundur setengah langkah. Cermin tidak retak, tidak bergetar, hanya berdiam. Tapi pantulan itu tetap ada. Dan kini, di sebelah perempuan itu, muncul satu lagi — wajah identik, tersenyum lembut.

Mereka berdua berdiri berdampingan. Miyu dan Aya. Atau mungkin Aya dan Miyu.

Dokter tidak tahu mana yang mana, dan entah kenapa, ia merasa hal itu memang tak perlu diketahui.
Beberapa hal, pikirnya, memang diciptakan agar tetap kabur.

Ia menunduk lagi pada foto di meja. Dua wajah itu sama persis dengan yang di cermin. Namun di bagian belakang foto, kini ada tulisan tangan — baru, tinta masih basah:

“Kau yang menulis ini. Aku yang membaca. Tapi kita yang mengingat.”

Lampu di langit-langit bergetar pelan.

Udara berubah dingin, dan suara angin dari luar terdengar samar — seperti seseorang berbisik di antara daun.

Dokter melangkah keluar kamar, perlahan. Lorong terasa lebih panjang dari biasanya. Cahaya dari jendela di ujung tampak terlalu putih, seperti potongan mimpi yang tumpah ke dunia nyata.
Ia menoleh sekali lagi ke papan nama kamar 303.

Kawashima, Aya — Admitted 2003.

Namun ketika ia berjalan menjauh, huruf-huruf itu tampak bergeser pelan, seolah bayangan di baliknya ikut menulis ulang:

Kawashima, Miyu — Discharged 1973.

Ia berhenti.

Tidak yakin apakah itu benar-benar berubah, atau hanya efek cahaya.

Di kejauhan, jam tua di ujung lorong berdetak tiga kali, pelan dan berat.

Lalu hening.

Semuanya kembali seperti semula.

Lorong itu tetap bersih.

Papan nama tetap sama.

Dan cermin di kamar 303 hanya memantulkan ruang kosong yang tenang.

Namun jika seseorang berdiri cukup lama di depan cermin itu — sampai napasnya membentuk kabut di permukaannya — kadang bisa terlihat dua bayangan.

Satu menatap lurus.

Satu tersenyum lembut.

Dan dari kejauhan, suara lembut seorang perempuan terdengar seolah dari masa lalu:

"Delusi hanyalah cara otak menambal lubang kenyataan..."

Sunyi.

Angin di luar berhembus lembut, membawa bau antiseptik dan bunga lili.

Layar seolah memudar pelan.

Dan waktu, seperti ruangan itu, berhenti sejenak untuk menatap dirinya sendiri.

Share: